Kendati telah sebulan dilaksanakan dan sangat membantu disituasi krisis saat ini, rupanya tidak sepenuhnya mendapat respon positif. Banyak pihak mengeluhkan masalah yang terjadi ketika melaksanakan belajar daring. Pemberian tugas dengan deadline waktu yang singkat, ditambah pula kesulitan mendapatkan akses internet, alih-alih memudahkan pembelajar justru menyebabkan mereka lelah dan tertekan.
Masalah Pelajar dan Mahasiswa (Pembelajar)
Dikutip dari laman pengaduan online Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak 16 Maret hingga 9 April 2020 terdapat 213 pengaduan tentang masalah sistem belajar daring. Pengaduan tersebut berasal dari sejumlah pelajar diberbagai daerah mulai SD, SMP, dan SMA/SMK.
Seorang wali murid menceritakan bahwa teman-teman anaknya datang ke rumah karena tidak memiliki cukup kuota untuk mendengarkan pembelajaran dari guru mereka. Akhirnya, si anak bertemu dengan teman-temannya. Tujuan merumahkan anak-anak supaya tidak berkontak dengan banyak orang, yang terjadi malah terpaksa belajar kelompok karena masalah kekurangan kuota dan akses internet.
Selain itu, seorang wali murid juga mengadukan anaknya sudah berada didepan laptop pukul 6 pagi karena ada kelas bersama gurunya. Sementara tugas-tugas lain dengan deadline yang singkat telah menanti. Akibatnya anak tersebut tak sempat sarapan dan baru makan pukul 1 siang. Sang Ibu khawatir kondisi seperti ini malah menurunkan imun anaknya karena lelah dan telat makan.
Ada juga pengaduan dari wali murid yang mengaku bahwa anaknya masih kelas 3 SD tetapi harus mengerjakan antara 40-50 soal setiap hari. Ketika anaknya jenuh dengan soal yang begitu bayak, mau tidak mau sang Ibulah yang mengerjakan tugas tersebut. Sementara itu, pengaduan lain dari seorang siswa kelas VII SMP bercerita bahwa telah mengerjakan soal dari jam 7 pagi hingga pukul 5 sore. Saat dihitung total yang dikerjakan mencapai 255 soal.
Di tengah kemelud belajar yang tak kunjung usai, hadirnya program belajar via televisi oleh Kemendikbud menjadi alternatif solusi persoalan belajar daring. Program ini diadakan untuk memperluas akses layanan pendidikan bagi pelajar yang memiliki keterbatasan akses internet karena alasan ekonomi maupun letak geografis. Namun berdasarkan temuan di lapangan, program belajar via televisi ini masih memiliki celah kelemahan.
Sebagian materi yang ditayangkan sudah dipelajari saat di sekolah, sehingga siswa terpaksa mengulang pelajaran. Ada juga siswa yang melewatkan siaran belajar karena kekurangan informasi. Siswa tidak dapat bertanya langsung kepada narator ketika terjadi kebingungan, karena bukan interaksi belajar dua arah layaknya guru dan murid di kelas. Pemakaian bahasa saat memaparkan materi juga tidak formal. Bahkan tampilan gambar kurang jernih dan tanyangan soal terlalu cepat membuat siswa kewalahan mengikutinya. Selain itu, program ini hanya ditujukan untuk siswa saja, sehingga belum memberikan solusi pada mahasiswa di perguruan tinggi.
Banyak mahasiswa mengeluh kekurangan kuota internet semenjak mengikuti perkuliahan daring. Padahal hanya memakai grup whatsapp dengan durasi sekitar 20-30 menit tiap pertemuan. Apalagi saat dosen mengadakan kuliah tatap muka dengan zoom meeting akan banyak menguras kuota internet. Dahulu kuota 5 giga cukup digunakan untuk sebulan, sekarang hanya dapat dipakai dua minggu saja.
Masalah lainnya disampaikan oleh mahasiswa yang pulang kampung karena takut diberlakukan lockdown di daerahnya. Mahasiswa tersebut mengalami kesulitan jaringan internet karena lokasi tempat tinggal yang jauh dari perkotaan. Dia terpaksa memanjat pohon untuk mendapatkan akses internet selama perkuliahan berlangsung. Situasi belajar seperti ini amat mengkhawatirkan karena tidak kondusif dan dapat membahayakan nyawa mereka.
Selain akses internet, keluhan juga terjadi pada mahasiswa dari luar daerah yang harus melakukan self isolation (isolasi mandiri) selama 14 hari. Akibatnya aktivitas pembelajaran dan ujian daring menjadi terkendala. Diperpanjangnya jadwal belajar dari rumah dan bulan suci Ramadan yang sudah didepan mata menjadi alasan banyak mahasiswa mudik ke kampung halaman walaupun belum libur smester.
Ada juga keluhan mahasiswa mengenai tugas yang dianggap tidak masuk akal. Mereka mengakui harus menyelesaikan 6 hingga 8 tugas makalah untuk dikumpulkan pada pertemuan berikutnya. Tugas yang menumpuk sangat menguras stamina mereka, bahkan rela begadang demi menyelesaikan tugas tersebut. Padahal menjaga daya tahan tubuh merupakan prioritas ditengah pandemi saat ini
Lain halnya dengan mahasiswa tingkat akhir. Tentu saja masalah yang dihadapi lebih kompleks. Berbagai problematika seperti jaringan yang lelet, kekurangan paket data, hingga gagal paham mengikuti arahan dosen pembimbing menjadi pelengkap masalah. Jangankan bimbingan skripsi online, menghubungi dosen pembimbing saja sulit bagi mereka.
Berbagai keluhan di atas merupakan segelintir dari sekian banyak masalah yang dihadapi para pembelajar di Indonesia. Minimnya fasilitas menjadi faktor utama penghambat proses pembelajaran. Fasilitas pembelajar di kota berbeda dengan pembelajar yang berada di desa atau kampung. Ketimpangan kondisi tersebut sudah pasti mempengaruhi kualitas pembelajaran selama wabah corona.
Tantangan Guru dan Dosen (Pengajar)
Tidak bermaksud menggiring opini pembaca dalam menentukan siapakah yang paling benar. Namun, tidak adil rasanya jika memandang masalah dari satu sisi. Ada baiknya melihat sesuatu secara holistik dalam menyikapi sebuah permasalahan. Pada paragraf sebelumnya telah dideskripsikan berbagai masalah pelajar dan mahasiswa. Sama halnya dengan mereka, tentu saja guru dan dosen juga memiliki masalah tersendiri.
Perlu kita cermati, bahwasanya kondisi saat ini bukanlah situasi yang normal. Dampak corona memaksa konsep merdeka belajar yang diusung pemerintah langsung mendapat uji terapan. Instruksi belajar dari rumah menggunakan sistem daring mempercepat realisasi konsep merdeka belajar, padahal tidak semua orang dapat mengimplementasikannya dengan maksimal. Jika kondisi ini terus berlanjut, khawatir akan terjadi chaos pada proses pembelajaran.
Sebagai pengajar profesional, sudah menjadi tantangan guru dan dosen ketika dihadapkan pada situasi tersebut. Saat ini tugas dan tanggung jawab mereka benar-benar diuji sebagai manifestasi profesi yang diemban. Kiprahnya memastikan pembelajaran tetap terlaksana di tengah wabah corona layak diberikan apresiasi. Namun kenyataannya, tidak sedikit yang menyalahkan mereka ketika pemberian tugas dianggap beban dan melelahkan.
Sebenarnya pemberian tugas bukan bertujuan membuat pembelajar disibukan dengan pekerjaan rumah, melainkan adaptasi selama proses transisi belajar dari tatap muka langsung ke sistem belajar daring. Kondisi belajar yang berubah drastis saat ini menuntut pengajar menguasai teknologi. Pengajar lintas generasi memiliki tingkat penguasaan teknologi yang berbeda-beda tergantung pengalaman dan usia mereka. Ada yang mahir dalam hal digital, dan ada pula yang gagap teknologi. Kemampuan adaptasi tersebut menjadi tantangan guru dan dosen di era society 5.0.
Pemberian tugas juga semata-mata karena guru dan dosen ingin pembelajar lebih produktif, ketimbang menghabisakan waktu dengan bermain gadget. Ketika pembelajar tidak diberikan tugas atau pekerjaan rumah, khawatir mereka akan melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan pergi keluar untuk berkumpul bersama teman-temannya.
Selain itu, hal yang jarang diketahui dari guru dan dosen adalah tantangan yang mengharuskan mereka berjibaku dalam situasi belajar selama pandemi corona . Mereka terpaksa mendesain pembelajaran yang aktual diluar protap pemerintah. Semua ini disesuaikan dengan keterbatasan kondisi seperti minimnya fasilitas pembelajaran, kekurangan kuota dan jaringan internat, hingga masalah karantina mandiri . Tak jarang guru dan dosen akan disibukan dalam mendesain materi ajar, merancang teknik evaluasi dan instruksi yang tepat, bahkan antisipasi saat terjadi konflik belajar dengan sistem daring.
Mendesain pembelajaran berorientasi dari masalah yang dihadapi merupakan tantangan guru dan dosen. Tentu saja mereka tidak ingin membuat kesalahan, karena desain yang salah dapat berdampak pada kesehatan emosional dan mental pembelajar. Meski demikian, kegiatan belajar mengajar tetap dilaksanakan sebagai bentuk tanggung jawab laporan kegiatan. Oleh sebab itu, miris rasanya ketika kompetensi seorang pengajar yang tidak dimiliki orang awam, diragukan karena situasi belajar saat ini.
Menegosiasikan Pembelajaran
Belajar dari rumah yang sebelumnya tidak pernah terencana, menimbulkan pelbagai macam polemik terkait dengan masalah teknis pelaksanaan. Kurangnya persiapan mengenai teknis belajar dari rumah ini memunculkan variasi pembelajaran secara online yang dilaksanakan oleh para guru dan dosen. Penggunaan aplikasi belajar daring hingga model penugasan melalui grup dimedia sosial, menjadi masalah sekaligus tantangan demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Menyikapi hal tersebut, sebetulnya masalah belajar daring dapat diselesaikan dengan cara membangun komunikasi yang baik antara pengajar dan pembelajar. Pada kondisi saat ini tidak ada salahnya jika guru dan dosen mulai menerapkan negosiasi dalam pembelajaran. Sama halnya dengan berniaga, jika dalam berniaga negosiasi dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dan menghindari resiko kerugian, maka negosiasi dalam pembelajaran bertujuan mengatasi permasalahan atau konflik belajar dengan cara memilih jalan tengah sebagai penyelesaiannya.
Konsep negosiasi dalam pembelajaran memang belum begitu akrab dikalangan pengajar. Namun teori ini telah banyak dibahas diberbagai literatur atau jurnal. Seperti pendekatan belajar dengan Negotiated syllabus. Pengajar dan pembelajar dapat bernegosiasi dalam mencapai kesepakatan memahami apa yang sedang terjadi, apa yang perlu dilakukan, dan bagaimana cara menyelesaikannya.
Menegosiasikan pembelajaran harus dimulai dengan menjalin interaksi. Sesekali guru dan dosen perlu menanyakan sesuatu diluar pelajaran. Seperti menanyakan kabar dan menceritakan pengalaman selama mengikuti belajar daring. Mendengar “curhatan” pembelajar akan sangat membantu meringankan beban mereka. Tak perlu malu untuk melakukan hal yang sama. Selain dari segi emosional, menjalin komunikasi yang baik juga bermanfaat bagi kesehatan tubuh dan mental pembelajar.
Setelah mengetahui masalah yang dihadapi bersama, sebagai eksekutor guru dan dosen dapat melakukan decision making (pengambilan keputusan). Diperlukan penilaian dan kreativitas dalam membuat keputusan. Memilih beberapa alternatif untuk memecahkan masalah yang dihadapi berdasarkan intuisi, pengalaman, fakta yang terjadi dan berpikir secara rasional.
Alternatif tersebut menjadi tawaran untuk dinegosiasikan kepada pembelajar. Seperti ketika terjadi konflik belajar karena masalah kekurangan kuota dan akses internet. Pembelajar yang memiliki fasilitas memadai dapat belajar dengan sistem daring, sedangkan yang minim fasilitas dialihkan dengan sistem luring (luar jaringan). Belajar luring bisa menggunakan jasa kurir untuk mengambil dan mengantar tugas terjadwal jika lokasi tidak terlalu jauh. Bila tidak memungkinkan, pembelajaran tetap dapat dilakukan dengan portal Rumah Belajar yang disediakan Kemendikbud secara offline.
Begitu pula dalam memilih platform media belajar juga perlu dinegosiasikan. Jangan karena ingin mengikuti tren, lantas mengurangi kualitas pembelajaran. Ketika tidak mampu menggunakan zoom meeting lebih baik mengalihkan komunikasi pembelajaran lewat whatsapp grup adalah cara praktis agar materi ajar tetap ditelaah secara mandiri.
Esensi belajar dari rumah bukanlah tentang pemberian tugas dalam bentuk soal, melainkan membimbing pembelajar meningkatkan kegiatan literasi. Pengajar dapat memberikan penugasan yang menyenangkan seperti membaca novel tertentu, membaca buku cerita, dan menonton film edukasi lalu menceritakannya. Membimbing pembelajar selama wabah corona sangat dibutuhkan. Dengan begitu pengajar bisa memantau siapa saja yang sehat dan yang mungkin terinfeksi corona sehingga harus dalam pengawasan.
Masih banyak alternatif belajar lainnya yang dapat dinegosiasikan bersama. Tidak ada masalah belajar yang tidak bisa diatasi ketika terjadi kesepakatan antara pengajar dan pembelajar. Dengan menegosiasikan pembelajaran, maka tidak ada pihak yang dirugikan. Tidak ada lagi ketimpangan kondisi belajar, karena dapat dilakukan secara mandiri. Seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, “Jadikanlah setiap tempat sebagai sekolah, dan jadikan setiap orang sebagai guru.
Tentu saja tulisan ini tidak terlepas dari pandangan subjektif penulis yang mungkin bisa keliru. Terlepas dari itu, semoga apa yang disampaikan dapat menjadi masukan dan manfaat bagi dunia pendidikan, khususnya para rekan-rekan pengajar di seluruh Indonesia yang tengah dirundung dilema selama wabah corona.
Otak dan Bangsa yang “Merdiko”
Tanjungpinang Pos 15 Maret 2019
Oleh : Drs.H.Nazaruddin.,MH
Dosen STAI Miftahul Ulum Tanjungpinang
Ketua Koperasi Cendikia Cemerlang Negeri ICMI Orda Kota Tanjungpinang
Kalau Anda orang Jawa, tentu mengerti kata “Merdiko”, bahasa Jawa yang diserap dari bahasa kawi (Sansekerta) “Mahardhika” yang artinya sangat bijaksana, sangat kuat, dan sangat kaya. Kata ini merupakan gambaran tentang manusia paripurna yang merdeka dan terbebas dari kelemahan, bebas dari kemiskinan. Menjadi manusia yang merdeka berarti harus terbebas dari kebodohan, kelemahan, dan kemiskinan, serta memiliki kekuasaan untuk menentukan masa depannya sendiri.
Konotasi ini, jika ditarik kemakna yang lebih tinggi dalam konteks negara, akan memberikan gambaran yang hadirnya Negara mereka yang dikelola secara bijaksana sehingga mampu memanfaatkan potensi sumber daya manusianya menuju kemerdekaan sejati. Karena itu, negara harus memiliki kekuasaan, ketangguhan, kemandirian, dalam menguasai dan menentukan masa depan bangsanya. Negara tidak boleh tergantung apalagi takluk pada kekuatan yang berasal dari bangsa lain.
Apakah kita memiliki kesadaran untuk sekedar bertanya pada diri sendiri, dari manakah kemerdekaan itu berasal? selama ini kita terjebak dogma pemikiran bahwa kemerdekaan itu sesuatu yang berasal dari luar diri manusia, adanya dalam ranah publik, yang tatarannya adalah urusan negara. Selama kedaulatan negara terjaga, berbagai bentuk pelecehan dan pelanggaran atas hak-hak individu atau kelompok tertentu dalam negara, adalah hal-hal biasa yang bisa ditolerir. Kemerdekaan negara di baiat menjadi keutamaan yang nilainya lebih sacral dan suci daripada kemerdekaan individu. Cara pandang inilah yang melanggengkan tirani kekuasaan negara atas rakyatnya, melahirkan seorang pemimpin yang lebih cinta jabatannya melebihi rasa keadilan rakyat yang dipimpinnya.
Kini saatnya pemikiran dogmatic atas hakekat kemerdekaan itu harus kita koreksi. Harus kita posisikan pada esensi kemerdekaan yang sejatinya sesuai fitrah manusia. Sudah bukan zamannya kita berfikir bahwa kemerdekaan itu berada dalam genggaman kekuasaan negara. Era hari ini adalah era dimana kemajuan ilmu pengetahuan telah memberikan banyak sumbangsih berharga yang pada dimensi tertentu memiliki pengaruh besar dalam mengubah arah pembangunan suatu negara. Termasuk dalam hal ini adalah sumbangsih pengetahuan yang diberikan oleh nevrocience.
Berbagai penemuan menyatakan bahwa kehendak bebas individu yang merupakan esensi dari kemerdekaan manusia pada hakekatnya terletak pada otak manusia, pada bagian yang disebut Neocortex pada korteks prefrontal otak depan manusia. Bagian otak inilah yang bertanggungjawab atas berbagai kemenangan besar sejarah peradaban bangsa-bangsa dalam memerdekakan diri dari genggaman penjajah. Temuan-temuan inilah yang mendorong Amerika Serikat pada tahun 1990 an mendeklarasikan dengan otak yang dikenal dengan istilah Brain Detade buah dari kebijakan tersebut adalah semakin terjaminnya hak-hak individu dalam masyarakat Amerika yang majemuk. Indikatornya bisa dilihat dari semakin berkurangnya tingkat resistensi masyarakat terhadap negara.
Bangsa yang Merdeka
Prasyarat hadirnya bangsa yang merdeka adalah terbebas dari berbagai belenggu yang mencederai hakikat kemerdekaan itu sendiri, trmasuk terbebas dari campur tangan dan intervensi pihak atas bangsa lain. Soekarno mengistilahkan kemerdekaan itu ibarat sebuah jembatan emas, merdeka adalah keberanian untuk melepaskan diri dari penjajahan yang hadir dalam segala bentuk, yang tujuannya adalah memerdekakaan rakyat itu sendiri. Tan Malaka merangkum dalam satu ungkapan “Merdeka 100 Persen”
Untuk secara total menghadirkan sebuah bangsa yang merdeka, tentu harus dimulai dari hadirnya pemerintahan yang merdeka. Mustahil kemerdekaan sebuah bangsa bisa mewujud dalam pemerintahan yang terjajah dan puncak dari pemerintahan yang merdeka tentu saja ada pada diri kepala Negara. Presiden harus memiliki kesadaran yang utuh dan menjiwai hakikat kemerdekaan sebuah bangsa, serta memahami bahwa sejatinya kemerdekaan terletak pada kemerdekaan masing-masing individu di dalamnya.
Presiden harus menjamin terealisasinya kemerdekaan masing-masing individu dalam masyarakat yang dipimpinnya. Negara tak bisa lagi membungkam kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat yang melekat pada masing-masing individu. Negara tak boleh kehilangan akal sehat dengan bersikap reaktif membubarkan paksa aksi-aksi protes dengan unjuk rasa yang dilakukan rakyatnya. Pemerintak tak boleh menggunakan insting hingga bersikap tidak rasional dengan membungkam setiap sara kritis yang melintas ditelinga kekuasaan. Masyarakat harus bebas berekspresi, bebas menyatakan pendapat, dan Negara hadir menjamin semua kemerdekaan itu melalui system penegakan hokum yang adil. Dalam konteks ini, kemerdekaan Negara berasa dalam kedudukan yang setara dengan kemerdekaan individualnya. Dalam iklim demokrasi yang seperti ini, demonstrasi besar-besaran yang bertujuan menggulingkan rezim kekuasaan pada suatu Negara, mustahil bisa terjadi.
Belajar dari sejarah
Ingat revolusi Prancis yang berlangsung pada abad ke 18? setelah kekuasaan Feodalisme berhasil diruntuhkan, kaum berjouis berhasil memegang kendali dan berada di lingkaran ini kekuasaan. Rakyat berhasil lepas dari jeratan eksploitasi yang menindas oleh kaum bangsawan kerajaan, tapi setalh itu rakyat kembali ditindas oleh kelompok borjois. Ibarat lepas dari mulut harimau dan masuk kemulut buaya. Oleh karena itu, untuk bisa menghadirkan negara “Merdiko” terlebih dahulu, presiden selaku kepala negara haruslah “Mahardhika”, harus memiliki kesadaran tentang hakekat kemerdekaan itu sendiri. Kesadaran kemerdekaan yang menuntut adanya tanggungjawab sikap manusiawi dan kepedulian terhadap rasa keadilan rakyatnya yang melebihi kepedulian atas diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Setelah itu tentu saja rakyatnya harus juga “Merdhiko” dan akibatnya kekuasaan negara akan menjadi liar dan tak terkontrol, yang ujungnya gaduh, rusuh dan kacau. Dalam kondisi seperti itu, negara dan rakyat sama-sama kehilangan kemerdekaannya. Sekali lagi presiden harus melakukan introspeksi. Pahami apa kebutuhan mendasar bangsa ini. Untuk apa sejatinya kemerdekaan ini kita isi. Belajarlah kepada ajaran-ajaran Soerkarno yang intinya sangat mewanti agar negara senantiasa berpihak pada rakyat kecil. Jika rakyat kecil hanya selalu dijadikan embel-embel bangsa, negara tak ubahnya seperti para kolonialis atau imperials.
Merdeka, tapi sejatinya terjajah. Merdeka tetapi sejatinya kemerdekaan tetap berpihak pada kaum borjoouis dan para pemilik modal yang kecil dan lemah lambat laun terpinggirkan, sementara yang kuat dan kaya semakin menancapkan dominasinya pada kondisi yang seperti itu, letupan-letupan perlawanan tak bisa dielakkan. Selamat menjadi presiden Indonesia. Semoga bermanfaat. Amien. ***
Mencari Pemimpin Pemersatu

Dosen STAI Miftahul Ulum, Tanjungpinang
Ketua Koperasi Cendikia Cemerlang Negeri ORDA ICMI Tanjungpinang
Indonesia sebagai bangsa yang giat berpolitik menjadikan 2018 tahun politik, dan 2019 sebagai puncaknya, tepatnya tanggal 17 April 2019. Mungkin saja kita tengah giat mengekspresikan diri sebagai makhluk politik, sebagaimana kata Ariestoteles bahwa manusia adalah zoon politicon. Namun, suhu politik sudah sudah mulai memanas diawal 2018 yang lalu. Dalam system demokrasi, perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan tidak ada yang salah dengan itu. Perbedaan itulah yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang apabila dapat dikelola dengan baik akan menjadi pendorong bagi peradaban bangsa Indonesia.
Demokrasi menghendaki adanya kompetisi politik yang berasaskan kejujuran dan tanggungjawab, ajaran rasi sepertinya sebatas normatif, sedangkan praktiknya jauh panggang dari api. Pemilihan umum (pemilu), baik ditingkat kabupaten / kota, provinsi, maupun tingkat nasional, sepatutnya dilihat sebagai cara untuk menggapai kekuasaan yang berorientasi pada unity diversity, kebinekaan dalam kesatuan, sehingga pembangunan haruslah menyentuh dan berdampak positif bagi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh elemen anak bangsa Indonesia. Dengan demikian, tidak ada rakyat yang hanya sebagai penonton dalam pesta demokrasi. Semua elemen anak bangsa haruslah menjadi peserta aktif dalam demokrasi, baik dalam soal memilih ataupun dipilih.
Sayangnya kita masih sering gagal mengelola perbedaan dalam berdemokrasi ini, dan malah cendrung memainkan sentiment agama, suku, ras dan etensitas untuk memenangkan hawa nafsunya untuk meraih kekuasaan dalam konteslasi pemilahan umum (pemilu) 1 tahun sekali. Dampak dari akibat itu, kita meletakkan bangsa Indonesia yang begitu bhineka dalam segala hal ini, dalam sebuah kotak yang bersekat-sekat, kita mengkotak-kotakan suku, ras, agama budaya tertentu yang dianggap layak ataupun tidak layak untuk ikut andil berpartisipasi dalam pembangunan bangsa ini.
Soal agama dan etnis acapkali dijadikan senjata ampuh untuk menjatuhkan lawan-lawan politik untuk meraup keuntungan dan simpati sensitive kebangsaan, tentu penggunaan simbol agama dan suku sebagai latar belakang menolak seseorang bukanlah pertimbangan yang tepat. Apalagi jika mengingat Negara ini didirikan dari berbagai macam perbedaan, namun para pendiri bangsa (the founding fathers), snagatlah yakin bahwa hanya semangat persatuan dan kesatuan yang dapat menjembatani berbagai macam perbedaan yang ada tersebut.
Karena itu janganlah bangsa ini kembali terkotak-kotak dalam persoalan agama dan suku di dalam demokrasinya, malahan haruslah lebur dalam suatu nasionalisme, patriotism yang sama untuk berjuang demi mengentaskan musuh bersama. Seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kebodohan, pelanggaran hokum dan hak asasi manusia, narkoba, prostitusi, gaya hidup mewah yang berlebihan, krisis moral, dan isu-isu social yang madaratnya dirasakan oleh semua rakyat dan bangsanya.
Untuk dapat mencapai hal ini , rakyat Indonesia dididik untuk tidak bermain-main apalagi menggunakan agama didalam politik. Di butuhkan tokoh-tokoh agama yang bisa menyejukkan nurani sehingga ketika ada percikan konflik-konflik justru menjadi pemadam konflik dan bukan pemantik masalah. Juga, dibutuhkan tokoh-tokoh politik yang punya akal sehat, nurani dan prinsip yang teguh dalam soal nasionalisme bangsa. Singkatnya, kita perlu tokoh-tokoh bangsa yang berwatak pemersatu, bersemangat dalam mencapai kemakmuran bersama, dan tidak lupa akan cita-cita para pendiri bangsa ini.
Pemimpin yang taat hukum, yang pasti kita membutuhkan pemimpin yang berkompeten, berkepemimpinan baik, serta taat pada hukum. Apabila suatu negara dipimpin orang yang baik, maka dapat dipastikan hukum akan berjalan dengan baik pula. Sebab, jika pemimpin kita takluk pada hukum, maka ia akan berusaha semaksimal mungkin menjalankan kebijakan demi tegaknya hokum. Aristoteles mengatakan “pemimpin yang baik adalah pemimpin yang adil, tegas, bijak serta takluk pada hukum yang berlaku. Dengan demikian, negara akan mudah untuk suatu kemajuan”.
Dari perkataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemimpin harus menaati hukum dan begitu, pemimpin akan lebih mudah mencapai tujuan negara. Pemimpin merupakan sosok yang menjadi teladan bagi orang yang dipimpin. Seorang pemimpin harus selalu berbuat kebajikan karena hal itu sangat berpengaruh terhadap rakyat. Apabila pemimpin selalu taat terhadap hukum yang berlaku, maka rakyatpun akan demikian. Dengan demikian, tidak aka nada masyarakat yang melakukan pelanggaran.
Namun, terlepas dari semua itu, kita jangan hanya mengandalkan kinerja dari pemerintah. Sebab, segala sesuatu akan sulit dicapai jika hanya dilakukan satu elemen. Harus ada kerjasama dan saling sinergi antara rakyat dan pemimpin. Sehingga akan terwujud hubungan yang harmonis, baik masyarakat dengan masyarakat, maupun masyarakat dengan pemerintah. Mulai saat ini, kita harus menghidupkan kembali persaudaraan kita terhadap sesama umat dan bangsa. Selain itu, kita juga harus meningkatkan sikap toleransi, baik terhadap suku, ras, agama dan budaya. Hilangkan rasa benci, permusuhan diantara kita. Sehingga nilai persatuan dan kesatuan akan semakin kokoh dan kuat. Yang paling penting, pemimpin harus benar-benar serius, konsisten, serta bertanggungjawab dalam menjalankan tugasnya. Sebab pemimpinlah yang menjadi pemeran utama dalam mewujudkan ketertiban serta keamanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bangsa kita didirikan dalam sebuah kondisi yang memprihatinkan, namun beruntung memiliki pemimpin dan tokoh-tokoh cerdas dan berjiwa patriot dan berlapang dada dalam menyikapi perbedaan yang ada, sehingga dapat diteladani generasi berikutnya. Saat ini banga kita dalam kondisi jauh lebih baik. Semoga saja, sistem demokrasi yang kita pilih dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang mampu menjadi pemersatu bangsa yang majemuk ini yang syarat dengan berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan, serta menghasilkan wakil rakyat yang lebih baik dan peduli dengan masyarakatnya, rakyat yang cerdas dalam memilih kinerja, bukan malah mempermasalahkan soal suku, ras, agama, namun semua itu kita butuh pemimpin pemersatu bngsa ini, rakyat dan anak bangsa yang berjiwa Pancasila yang mampu merangkul semua dan mengingat bahwa yang berbeda dengannya adalah saudara sebangsa.
Semoga bermanfaat … ***

Oleh: Nazaruddin
Dosen STAI Miftahul Ulum, Tanjungpinang
Ketua Koperasi Cendikia Cemerlang Negeri ORDA ICMI Tanjungpinang
Indonesia sebagai bangsa yang giat berpolitik menjadikan 2018 tahun politik, dan 2019 sebagai puncaknya, tepatnya tanggal 17 April 2019. Mungkin saja kita tengah giat mengekspresikan diri sebagai makhluk politik, sebagaimana kata Ariestoteles bahwa manusia adalah zoon politicon. Namun, suhu politik sudah sudah mulai memanas diawal 2018 yang lalu. Dalam system demokrasi, perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan tidak ada yang salah dengan itu. Perbedaan itulah yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang apabila dapat dikelola dengan baik akan menjadi pendorong bagi peradaban bangsa Indonesia.
Demokrasi menghendaki adanya kompetisi politik yang berasaskan kejujuran dan tanggungjawab, ajaran rasi sepertinya sebatas normatif, sedangkan praktiknya jauh panggang dari api. Pemilihan umum (pemilu), baik ditingkat kabupaten / kota, provinsi, maupun tingkat nasional, sepatutnya dilihat sebagai cara untuk menggapai kekuasaan yang berorientasi pada unity diversity, kebinekaan dalam kesatuan, sehingga pembangunan haruslah menyentuh dan berdampak positif bagi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh elemen anak bangsa Indonesia. Dengan demikian, tidak ada rakyat yang hanya sebagai penonton dalam pesta demokrasi. Semua elemen anak bangsa haruslah menjadi peserta aktif dalam demokrasi, baik dalam soal memilih ataupun dipilih.
Sayangnya kita masih sering gagal mengelola perbedaan dalam berdemokrasi ini, dan malah cendrung memainkan sentiment agama, suku, ras dan etensitas untuk memenangkan hawa nafsunya untuk meraih kekuasaan dalam konteslasi pemilahan umum (pemilu) 1 tahun sekali. Dampak dari akibat itu, kita meletakkan bangsa Indonesia yang begitu bhineka dalam segala hal ini, dalam sebuah kotak yang bersekat-sekat, kita mengkotak-kotakan suku, ras, agama budaya tertentu yang dianggap layak ataupun tidak layak untuk ikut andil berpartisipasi dalam pembangunan bangsa ini.
Soal agama dan etnis acapkali dijadikan senjata ampuh untuk menjatuhkan lawan-lawan politik untuk meraup keuntungan dan simpati sensitive kebangsaan, tentu penggunaan simbol agama dan suku sebagai latar belakang menolak seseorang bukanlah pertimbangan yang tepat. Apalagi jika mengingat Negara ini didirikan dari berbagai macam perbedaan, namun para pendiri bangsa (the founding fathers), snagatlah yakin bahwa hanya semangat persatuan dan kesatuan yang dapat menjembatani berbagai macam perbedaan yang ada tersebut.
Karena itu janganlah bangsa ini kembali terkotak-kotak dalam persoalan agama dan suku di dalam demokrasinya, malahan haruslah lebur dalam suatu nasionalisme, patriotism yang sama untuk berjuang demi mengentaskan musuh bersama. Seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kebodohan, pelanggaran hokum dan hak asasi manusia, narkoba, prostitusi, gaya hidup mewah yang berlebihan, krisis moral, dan isu-isu social yang madaratnya dirasakan oleh semua rakyat dan bangsanya.
Untuk dapat mencapai hal ini , rakyat Indonesia dididik untuk tidak bermain-main apalagi menggunakan agama didalam politik. Di butuhkan tokoh-tokoh agama yang bisa menyejukkan nurani sehingga ketika ada percikan konflik-konflik justru menjadi pemadam konflik dan bukan pemantik masalah. Juga, dibutuhkan tokoh-tokoh politik yang punya akal sehat, nurani dan prinsip yang teguh dalam soal nasionalisme bangsa. Singkatnya, kita perlu tokoh-tokoh bangsa yang berwatak pemersatu, bersemangat dalam mencapai kemakmuran bersama, dan tidak lupa akan cita-cita para pendiri bangsa ini.
Pemimpin yang taat hukum, yang pasti kita membutuhkan pemimpin yang berkompeten, berkepemimpinan baik, serta taat pada hukum. Apabila suatu negara dipimpin orang yang baik, maka dapat dipastikan hukum akan berjalan dengan baik pula. Sebab, jika pemimpin kita takluk pada hukum, maka ia akan berusaha semaksimal mungkin menjalankan kebijakan demi tegaknya hokum. Aristoteles mengatakan “pemimpin yang baik adalah pemimpin yang adil, tegas, bijak serta takluk pada hukum yang berlaku. Dengan demikian, negara akan mudah untuk suatu kemajuan”.
Dari perkataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemimpin harus menaati hukum dan begitu, pemimpin akan lebih mudah mencapai tujuan negara. Pemimpin merupakan sosok yang menjadi teladan bagi orang yang dipimpin. Seorang pemimpin harus selalu berbuat kebajikan karena hal itu sangat berpengaruh terhadap rakyat. Apabila pemimpin selalu taat terhadap hukum yang berlaku, maka rakyatpun akan demikian. Dengan demikian, tidak aka nada masyarakat yang melakukan pelanggaran.
Namun, terlepas dari semua itu, kita jangan hanya mengandalkan kinerja dari pemerintah. Sebab, segala sesuatu akan sulit dicapai jika hanya dilakukan satu elemen. Harus ada kerjasama dan saling sinergi antara rakyat dan pemimpin. Sehingga akan terwujud hubungan yang harmonis, baik masyarakat dengan masyarakat, maupun masyarakat dengan pemerintah. Mulai saat ini, kita harus menghidupkan kembali persaudaraan kita terhadap sesama umat dan bangsa. Selain itu, kita juga harus meningkatkan sikap toleransi, baik terhadap suku, ras, agama dan budaya. Hilangkan rasa benci, permusuhan diantara kita. Sehingga nilai persatuan dan kesatuan akan semakin kokoh dan kuat. Yang paling penting, pemimpin harus benar-benar serius, konsisten, serta bertanggungjawab dalam menjalankan tugasnya. Sebab pemimpinlah yang menjadi pemeran utama dalam mewujudkan ketertiban serta keamanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bangsa kita didirikan dalam sebuah kondisi yang memprihatinkan, namun beruntung memiliki pemimpin dan tokoh-tokoh cerdas dan berjiwa patriot dan berlapang dada dalam menyikapi perbedaan yang ada, sehingga dapat diteladani generasi berikutnya. Saat ini banga kita dalam kondisi jauh lebih baik. Semoga saja, sistem demokrasi yang kita pilih dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang mampu menjadi pemersatu bangsa yang majemuk ini yang syarat dengan berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan, serta menghasilkan wakil rakyat yang lebih baik dan peduli dengan masyarakatnya, rakyat yang cerdas dalam memilih kinerja, bukan malah mempermasalahkan soal suku, ras, agama, namun semua itu kita butuh pemimpin pemersatu bngsa ini, rakyat dan anak bangsa yang berjiwa Pancasila yang mampu merangkul semua dan mengingat bahwa yang berbeda dengannya adalah saudara sebangsa.
DAKWAH MEDIA DI ERA GLOBALISASI TEKNOLOGI
OLEH :SUHARDIMAN (Dosen STAI Miftahul Ulum Tanjungpinang (suhardimamiday@gmail.com) NIDN 2128087201
Abstrak
Dakwah media diera globalisasi teknologi saat ini menjadi tantangan dakwah secara lisan,disebabkan dakwah media dengan teknologi saat ini berkembang pesat melalui media sosial (facebook dan Whatshap) sehingga dengan mudah dibaca oleh penggunanya dan dapat memengaruhi mindset pembacanya ,yang berimbas pada pola perilaku pembacanya.Media sosial menjadi suatu kebutuhan yang vital dan penting bagi manusia .Media sosial bersifat bebas, tanpa aturan, dan tidak terkontrol.
Kata kunci,Dakwah,Globalisai dan Media
A.Pendahuluan
Pada abad ke-21 terjadi sindrom globalisasi.[1] Pertama ditandai dengan masuknya teknologi yang kemudian dilanjutkan pada penggunaan internet dan berbagai aplikasinya. Media sosial merupakan lanjutan dari arus globalisasi yang menghubungkan seluruh lapisan masyarakat melalui media sosial dunia maya .Dunia maya, khususnya media sosial merupakan kekuatan terbesar pada masa sekarang. Hal itu dikarenakan setiap harinya telah banyak masyarakat yang bersinggungan dengannya. Oleh sebab itu, tidak heran jika dalam arus globalisasi innformasi, dakwah bisa masuk di dalamnnya.
Salah satu fenomena yang menjadi trend saat ini adalah dakwah media melalui media sosial facebook.dan Whatshap ..Dakwah media ini dipandang cukup efektif, mengingat bisa dilakukan di mana saja, kapan saja dan biayanya pun relatif murah. Selain itu pertumbuhan penggunaan facebook dan Whatshap yang cukup signifikan, dirasa cukup efektif digunakan sebagai sarana pembelajaran sekaligus dakwah kepada mereka.
Berkembangnya ilmu dengan pesat,disisi lain timbul kekhwatiran yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu itu karena tidak ada seorang pun atau lembaga yang memiliki otoritas ntuk menghambat implikasi negataif ilmu[2].John Naisbitt mengatakan bahawa era informasi menimbulkan gejala mabuk teknologi,yang ditandai dengan beberapa indicator,yaitu:(1) Masyarakat lebih Menyukai penyelesaian masalah secara kilat,dari masalah agama sampai masalah gizi. (2) Masyarakat takut dan sekaligus memuja teknologi (3) Masyarakat mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan semua.(4) Masyarakat mencintainteknologi dalam bentuk mainan.(6) Masyarakat menjalnai kehidupan yang berjarak dan terenggut. Ilmu dan teknologi dalam konteks itu kehilangan ruhnya yang fundamental karena ilmu kemudian mengeliminir peran manusia dan bhakan manusia tanpa sadar menjadi budak ilmu dan teknologi.[3]
Dakwah media diera globalisasi teknologi saat ini menjadi tantangan dakwah secara lisan,disebabkan dakwah media dengan teknologi saat ini berkembang pesat melalui media sosial (facebook dan Whatshap) sehingga dengan mudah dibaca oleh penggunanya dan dapat memengaruhi mindset pembacanya ,yang berimbas pada pola perilaku pembacanya.
Media sosial menjadi suatu kebutuhan yang vital dan penting bagi manusia . Media sosial bersifat bebas, tanpa aturan, dan tidak terkontrol. Sebagian besar manusia sering atau pernah menggunakan media sosial yang merugikan diri sendiri. Penggunaan media sosial yang berlebihan hingga lupa waktu merupakan salah satu contoh penggunaan media sosial yang merugikan diri sendiri. Akibatnya, banyak manusia yang menghabiskan waktu untuk menggunakan media sosial secara mubazir. Waktu yang seharusnya digunakan manusia untuk mengerjakan pekerjaan lain yang lebih penting menjadi sia-sia sehingga pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya cepat selesai menjadi tertunda. Hal tersebut tentu menjadi kerugian yang sangat besar bagi mahasiswa sendiri.Namun jika dimanfaatkan secara benar, ternyata media sosial juga berguna dalam proses Dakwah.
Media sosial menjadi sarana yang cukup efektif dalam menyampaikan segala macam informasi khususnya pesan dakwah. Yang perlu ditekankan pada hal ini adalah bagaimana cara menyajikan esensi teks wahyu dengan bahasa yang mudah dimengerti dan menyentuh hati pembacanya. Oleh karena itu, berbicara dengan baik dan benar perlu diterapkan di media sosial selain diterapkan di dunia nyata. Budaya berbicara yang santun harusnya tidak hanya terjadi saat tatap muka tetapi juga melalui perangkat elektronik di dunia maya. Hubungan antar individu akan menjadi sulit jika individu tersebut tidak santun dalam berbicara. Seseorang dapat memengaruhi orang lain dengan berbicara. Berbicara yang benar bukan hanya untuk perbincangan tatap muka, melainkan juga di ruang publik, seperti media sosial. Jika pikiran dan hati tidak menuntun seseorang untuk santun berbicara, integritas dan hubungannya dengan sesama akan hancur.[4]
B.Pendekatan Dakwah: Mengajak Atau Menghakimi
Pengertian mengajak dalam dakwah sudah kita mafhumi bersama bahwa dakwah punya prinsip untuk mengajak orang lain dari kejahilan kepada kebenaran ,dari kegelapan kepada terang benderang.Banyak hal yang sudah diketahui oleh para penyeru Islam tentang dakwah dalam bentuk mengajak,baik dalam dakwah bi al-lisan, bi al-hal ataupun bi ar-risalah[5].
Adapun makna menghakimi disini mencakup berbagai aspek dan bentuknya bisa berupa menyalahkan,mencela,menghinakan,mengkafirkan,bahkan sampai kepada aspek penerapan hokum Islam yang mengarah kepada jasmani seperti memotong tangn,mencambuk,merajam yang diberikan hukuman tersebut yang dianggap berprilaku tidak sesuai ajaran Islam.[6]
Secara bebas, defeisi dakwah adalah suatu proses penyampaian/penyeruan informasi Ilahiyah kepada para hamba manusia yang merupakn bagain intergaral dari hidup dan kehidupan setiap individu muslim. Secara etimologis perkataan dakwah berasal dari bhasa Arab da’aa,yat’uu yang berarti seruan,mengajak atau panggilan .Arti demikian sering kita jumpai didalam quran surat yunus ayat 25,quran surat Yusuf ayat 33 dan quran surat al-baqarah ayat 221.[7]
Dakwah adalah kegiatan yang dilaksanakan jamaah muslim (lembaga-lembaga dakwah) untuk mengajak umat manusia masuk ke dalam jalan Allah (kepada sistem Islam) dalam semua segia kehidupan sehingga Islam terwujud dalam kehidupan fardiyah,usrah,jamaah dan ummah samapi terwujudnya tatanan Khairu Ummah.[8]
C.Globalisasi Teknologi
Globalisasi pasti menimbulkan konsekuensi, baik dalam cara bertindak, berpikir maupun dalam cara bersikap. Pertukaran kebudayaan yang terjadi dengan cepat, baik yang ditimbulkan oleh media elektronik maupun media cetak akan melahirkan nilai-nilai baru pada pribadi-pribadi anggota dalam keluarga. Karena kebanyakan keluarga telah memasukkan media elektronik ke dalam kehidupannya untuk disaksikan oleh anak-anak mereka. Sementara itu anak mempunyai sifat dasar yang kuat dalam mencontoh apa yang pernah mereka lihat dan mereka tonton.
Salah satu contoh yang selalu terjadi bagi anak adalah masalah gaya hidup yang selalu berakar pada budaya asing seperti masalah pakaian,pergaulan bebas dan gaya hidup yang bersipat hedonisme.[9]
Berbagai serbuan dalam teknologi informatika yang datang dari berbagai penjuru dunia, berakibat langsung pada tumbuhnya “gaya hidup global” yang mencampur aduk kan budaya yang satu dengan budaya yang lain.Keadaan ini mendatangkan kejutan budaya yang membingungkan yang kadang-kadang membawa pola hidup seseorang ke arah destrukif.
Keterbukaan kita terhadap arus informasi global melalui media sosial dan eloktronik seperti tv,komputer dan lain sebagainya menunjukkan sisi positif yang dapat memperkaya budaya dan pengetahaun kita. Selain itu tidak jarang bahwa pula globalisasi menunjukkan kearah yang negatif bagi kehidupan manusia,sehingga banyak ditiru oleh dalam kehidupan keluarga.Dalam upaya mencegah dampak negatif teknologi,maka peranan dakwah media dalam kehidupan manusia sangat diperlukan untuk dapat menyujukan umat.
C.Penutup.
Media sosial menjadi sarana yang cukup efektif dalam menyampaikan segala macam informasi khususnya pesan dakwah. Yang perlu ditekankan pada hal ini adalah bagaimana cara menyajikan esensi teks wahyu dengan bahasa yang mudah dimengerti dan menyentuh hati pembacanya. Oleh karena itu, berbicara dengan baik dan benar perlu diterapkan di media sosial selain diterapkan di dunia nyata. Budaya berbicara yang santun harusnya tidak hanya terjadi saat tatap muka tetapi juga melalui perangkat elektronik di dunia maya
Daftar Pustaka
Muis, Komunikasi Islami, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001
Amarullah Ahmad,Dakwah Islam dan Perubahan Sosial,Yogyakarta: PT.Prima Duta,1983,
Bakhtiar,Amsal,Filsafat ilmu,Jakarta: PT.Rajawali Press,2009
Jusuf Amir Faizal Reorientasi Pendidikan Islam , Jakarta:Gema Insani Press,1995
Munzier Suparta, Metode Dakwah,Jakarta: Prenata Media,2003
http://www.ddhongkong.org/facebook-dan-twitter-efektif-untuk-dakwah/. Diakses pada 25 Januari 2017
[1] A. Muis, Komunikasi Islami, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001, hal 131
[2] Bakhtiar,Amsal,Filsafat ilmu,Jakarta: PT.Rajawali Press,2009,hal.XII
[3] Ibid,hal.XIII.
[4] http://www.ddhongkong.org/facebook-dan-twitter-efektif-untuk-dakwah/. Diakses pada 25 Januari 2017
[5] Munzier Suparta, Metode Dakwah,Jakarta: Prenata Media,2003,hal.61
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Amarullah Ahmad,Dakwah Islam dan Perubahan Sosial,Yogyakarta: PT.Prima Duta,1983,hal.63
[9] Jusuf Amir Faizal Reorintasi Pendidikan Islam , Jakarta:Gema Insani Press,1995,hal 46
.